Perkenalkan,
Namaku Udin. Udin Simarudin. Umurku saat ini sudah berkepala enam, tapi
semangat dan keceriaanku tak kalah dengan kaum muda berkepala dua. Aku tidak
hidup seorang diri, ada anak semata wayangku satu-satunya yang menjadi alasan
utama mengapa aku harus semangat dan ceria. Istriku, orang yang paling kucintai
lebih memilih jalan kehidupan lain. Dia bilang, hidup bersamaku membuat kulit tidak
terawat, tidak pernah pakai baju bagus, tidak pernah makan makanan bergizi, ditambah,
dia tidak mau mengurus anak yang tiada habisnya. Jadi, istriku memutuskan pergi
meninggalkan aku dan anakku, Mail yang masih berumur satu bulan. Bagaimana
kabarnya saat ini? entahlah aku tidak tahu. Karena dia benar-benar pergi tanpa
meninggalkan jejak setitikpun kepadaku. Sedih? sudah pasti. Rindu? apalagi.
Tapi apa daya, lelaki miskin harta seperti aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.
Jadi, waktu itu, lebih baik aku mengalah dan menghargai keputusan yang dibuat
oleh istriku. Setelah menyaksikan kepergian istriku, sejak itu, aku berjanji
dan bertekad penuh membahagiakan Ismail, apapun yang terjadi. Aku tidak ingin
anakku mengikuti jejak Ibunya, mencari Ayah baru.
Mail
baru berumur satu bulan. Kebutuhan nutrisinya harus lebih banyak dibandingkan
aku yang tua beranta ini. Usaha keras mencari susu formula pun dimulai. Oia,aku
dan Mail tinggal di menara tumpukan pusat pembuangan sampah di Bekasi. Tidak
hanya kami yang tinggal, banyak. Sekitar
lima puluh rumah berdiri setengah
kokoh di setiap puncak pembuangan sampah
tersebut. Junjun, tetangga rumahku
yang sangat baik hati,mau menolongku mendapatkan susu formula bayi yang aku
butuhkan. Kebetulan, dia ada kenalan pembantu rumah tangga di salah satu
perumahan elit di Bekasi. Majikannya itu, kebetulan juga mempunyai bayi yang
seumuran dengan Mail. Ibu itu sibuk bekerja. Kalau Ibu itu tidak malas, ia
sempatkan untuk memompa ASI, kalau tidak sempat, baru diberi susu formula.
Kabar gembiranya adalah, susu formulanya selalu tidak habis, alias sisa.
Sisanya juga lumayan banyak. Jadi,
setiap akhir bulan belanja bulanan, mau habis atau tidak, susu formula itu harus
tetap dibuang. Ibu itu takut sudah
kardaluarsa. Padahal sebenarnya belum. Memang rezeki Mail, ia bisa mendapatkan
susu formula bagus tanpa harus membelinya. Banyak atau sedikit susu formula
yang masih tersisa, yang penting, setiap hari Mail harus minum susu, bukan?.
Sayangnya,
susu formula itu hanya bertahan hingga Mail berusia sepuluh bulan. Junjun bilang,
bahwa sekarang anak majikannya itu suka sekali susu. Jadi selalu habis. Tidak
tersisa lagi. Kata Junjun, bayi sepuluh bulan tidak apa jika tidak sering diberi
susu formula. Karena bayi sudah mulai harus mencoba makan makanan padat, agar
merangsang pertumbuhan gigi. Benar juga, Ismail sudah mulai tumbuh benda-benda
putih di gusinya. Sudah pasti itu adalah gigi. Kata Junjun, dulu ia dan
istrinya sering mencari biskuit biskuit di sekitar rumah mereka. “ Din, lu
harus jeli nyarinya. Soalnya, ada aja ko bungkus biskuit yang masih utuh. Tapi
ya itu, harus jeli dan rajin nyarinya. Kalo ngga dapet, harus dapet. Pasti ada
ko.”
Baiklah,
atas saran dari sahabat sekaligus tetangga ku, Junjun, aku akan berusaha sekuat
tenaga mencari biskuit untuk Mail. Karna aku ingin, Mail tumbuh menjadi
seseorang yang hebat. Bukan seperti aku yang hidup di rumah bukit tempat pembuangan sampah.
Aktivitas
baruku dimulai. Mencari biskuit untuk Mail. Pagi-pagi sekali, pukul 5, aku
sudah mulai mencari biskuit itu. Mail aku gendong. Ia masih terlelap. Aku
menggali terus sampah yang ada. Pagi ini, aku sudah menemukan banyak makanan.
Pertama, aku menemukan mie goreng tanpa bumbu, lalu aku menemukan susu bubuk
kaleng yang masih setengah, lalu aku menemukan aneka wafer cokelat. Dari sekian
banyak makanan, aku belum menemukan biskuit. Tidak apa, ada wafer cokelat
pengganti biskuit sebagai makanan pertama Mail. Tinggal aku remukkan saja
dengan air, pasti ia menyukainya.
Aku
mulai lelah. Lelah mencari, iya. Tapi, yang lebih melelahkan lagi, sambil
mengendong Mail. Tanganku pegal sebelah. Aku memutuskan pulang ke rumah untuk
istirahat sebentar sekaligus memandikan Mail agar segar, setelah itu, baru
membuatkan Mail susu yang baru aku dapatkan. Akupun juga ingin makan mie tanpa
bumbu yang baru aku dapatkan.
Dulu,
sebelum ada Mail, aku juga sudah bangun pagi pukul lima, lalu pulang pukul sembilan malam. Pekerjaanku hanya satu. Mencari kebutuhan hidup. Mulai dari aneka
makanan, pakaian, perabot rumah tangga, semua aku cari. Istriku? dia tidak akan
mau ikut denganku. Pekerjaan dia hanya memarahiku kalau aku pulang tidak
mendapatkan apa yang dia inginkan. Misalnya, dia ingin aku pulang mendapatkan
baju daster yang tidak sobek. Hampir seharian penuh aku sibuk mencari daster
yang tidak sobek untuknya. Tapi apa daya, kalau daster tidak sobek, buat apa
mereka membuangnya?. Dan hasilnya, sebelum pulang, aku menjahit terlebih dahulu
daster sobek yang kutemukan. Aku mencari berbagi kain yang tersebar, kemudian
aku jahit di daster tersebut. Aku menjahitnya selama satu jam. Karna sobekkan
dasternya cukup banyak, sedangkan aku tidak pandai menjahit. Terlebih, aku
menjahitnya dengan tangan, bukan dengan mesin jahit. Setelah selesai menjahit,
aku pulang dengan semangat. Aku membayangkan betapa bahagianya istriku saat
melihatku membawa daster yang tidak robek-robek. Selepas sampai dirumah,
istriku menyambutku bukan dengan senyum dan membawakan segelas air putih,
tetapi menyabutku dengan segelontar pertanyaan singkat dengan wajah jutek tanpa
senyum se kecilpun. “mana dasterku?!.” Dengan senyuman, aku langsung memberikan
daster yang tadi aku jahit kepada istriku. Tanpa basa-basi, tangan istriku
langsung menarik daster yang ada di tanganku. Dan begitu ia melihat bentuk
dasternya, tanpa berpikir lima detik, daster dengan susah payah aku jahit
selama satu jam, dia buang begitu saja dengan kasar. Dia bilang, sebagai
hukumannya, malam ini aku harus tidur diluar. Baiklah, dengan perasaan mengalah
tidak ingin berdebat, aku langsung membawa daster yang dilempar istriku untuk
kujadikan alas tidur.
Ingin
marah? sudah pasti. Tapi, itu tidak ada didalam kamusku. Aku selalu berpikir,
semua yang aku lalui pasti ada hikmah didalamnya. Tuhan tidak akan membuat skenario tanpa ada pembelajaran
didalamnya. Meski kadang aku merasa hidup ini kurang adil, tapi aku tidak boleh
berpikir seperti itu. Biarlah istriku bersikap seperti itu, biarlah. Sebisa
mungkin aku harus sabar menghadapinya. Amarah bukan solusi yang tepat. Mengalah
juga sebenarnya bukan solusi yang tepat juga. Ya, setidaknya, aku tidak ingin
terjadi keributan dirumah tanggaku. Sampai istriku pergi, aku hanya menanyakan
akan pergi kemana dan ketika ia sudah berjalan meninggalkanku dan Mail, aku
berteriak “ Semoga kau Bahagia, istriku, semoga kau selalu diberi kesehatan
dimanapun kau berada. Pulanglah jika kau merasa sedih. Aku akan selalu menyambutmu
dengan hangat.” Itulah perpisahan terakhirku dengan istriku yang entah ia
dengar atau tidak. Kuharap, semoga ia mendengarnya, meskipun hanya selintas.
Mail
sudah mandi dan minum susu, aku juga sudah mandi dan makan mie tanpa bumbu, saatnya
kembali lagi mencari biskuit untuk Mail. Tidak lupa, aku bawakan Mail air dan
wafer coklat untuk makan siang, sore, dam malam ( jika pulang malam). “Mulai
siang ini dan seterusnya, petualangan kehidupanku bersama Mail, benar-benar
dimulai,” kataku dalam hati.
Mail
sangat riang. Riang karena energinya sudah terisi kembali, dan juga, entahlah,
semoga Mail riang karena bersamaku. Melihat Mail selalu tersenyum, membuatku
semakin berjanji dan bersemangat akan manjadi Ayah yang terbaik untuk masa
depan Mail. Seberat apapun rintangannya, aku akan siap menghadapinya. Demi
Mail, aku rela.
Comments
Post a Comment